Dua Pasang Hati
A
A
A
Hingga mata Lara terpaku pada sesosok cowok bertubuh tinggi tegap, kacamata berframe hitam besar, alaala anak sekarang.
Dia membalas pandangan mata Lara beberapa detik, kemudian dengan sengaja memalingkan wajahnya. Siapa gerangan laki-laki tampan itu? Batin Lara menjerit ingin tahu. Itulah kali pertama Lara jatuh cinta. Kata temannya, love at the first sight. Lara jatuh tenggelam dalam pandangan teduh yang dimiliki cowok itu. Ia tampak tenang dan acuh, jika melihat Lara. Malu, kali ya? Pikir Lara saat itu. Dalam hati Lara bersyukur, ada juga yang mungkin hampir seumuran dengannya.
Nggak beberapa lama kemudian, seorang pria paruh baya memanggil laki-laki tampan itu. Eh, tau-tau mereka berdua berjalan ke arah Lara dan ibunya berdiri. Dan saat itulah, Lara mengetahui siapa pria tampan tersebut. Rupanya dia adalah Keenan Saputra Bagaskara, atau yang biasa disapa Keenan. “Ini Lara, Mel?” tanya pria paruh baya dengan rambut beruban itu. Ibu Lara mengangguk. “Iya, Bar. Ini anakku.” Mama tersenyum bangga pada Lara. “Lara, Om.” Lara mengikuti perintah mamanya, menjabat Om Bara.
“Nah, kalo yang ini, anak Om. Namanya Keenan, mahasiswa Felicitas University di Jakarta, jurusan kedokteran.” Om Bara menepuk bahu laki-laki tampan itu. “Keenan,” sapanya tanpa senyum. Herannya, Lara malah suka dengan gaya dingin dari cowok tampan itu. Cool banget sih nih cowok, jerit Lara dalam hati. Jika diperhatikan dari jarak dekat, Keenan terlihat lebih tampan. Guratan alis tebal dengan hidung mancung serta bibir tipisnya itu begitu mempesona relung hati Lara.
“Ingat nggak, Ra? Waktu kecil kamu pernah hilang di Villa Green Apple? Dulu yang nemuin kamu, ya anak Om, Keenan.” Om Bara menunjuk Keenan. Cowok itu hanya tersenyum sekedarnya. Ampun deh, bikin gereget banget ya si Keenan ini? Nggak nyangka, cowok yang dulunya berambut mangkok ini, malah menjelma jadi cowok setampan dan sekeren seperti sekarang. Punya pacar belum ya?
Batin Lara semakin ingin tahu. Jantung Lara semakin berdegup kencang, ketika Keenan yang irit bicara itu bertanya, “Kamu kelas berapa sekarang?” Yailah, baru ditanya gitu doang, Lara udah lemes duluan. Norak banget nggak sih?? “Ng… kelas 2 SMA, Kak,” sahut Lara malu-malu. Ya ampun, apa banget deh gue, batin Lara berkata. Biasa juga depan anak-anak dia berisik banget, eh ini di depan cowok ganteng begini dia mati gaya.
“Oh… Anak IPA?” tanyanya lagi. Eh buset, dia ini polisi kali ya? Interogasinya detail amat. Mana mukanya serius banget lagi kayak guru kimia gue di kelas, Lara menggumam seru (dalam hati) “Bukan, aku IPS, Kak.” Macem diospek aja nih gue jawabnya, sopan banget. Mana Lara yang asli? Manaaaa! Lara menjerit dalam hatinya lagi. Dua orang tua mereka saling tersenyum, menyadari kelucuan anak muda ini, “Aduh, Lara. Jangan malumalu gitu dong sama Keenan.
Panggilnya pake ‘Kak’ segala, lagi? Panggil nama aja.” Lara salah tingkah, “Hmm… Lara belum terbiasa, Om. Nggak manggil ‘Kakak’.” Om Bara tersenyum tulus, “Keenan santai aja kok orangnya, nggak akan marah cuma karena begituan. Iya kan, Nan?” Cowok itu hanya mengangguk. “Panggil nama aja, gue oke, kok.” Jadilah Lara memanggil pria tampan itu dengan namanya, K-E-EN- A-N, kepanjangan dari, ‘keren dan tampan’ cuma Lara aja yang nambahin sendiri dalam hati. Namanya juga lagi falling in love.
Selanjutnya, tebak apa yang terjadi? Keduanya hanya berdiri berdua, persis Patung Pancoran. Nggak ada sepatah kata pun terucap dari bibir mereka. “Kak, eh–Nan, lo nanti pengen ambil kedokteran apa?” “Pengennya sih kandungan.” Lara terperanjat, pasti nih cowok pinter banget deh.
(bersambung)
Dia membalas pandangan mata Lara beberapa detik, kemudian dengan sengaja memalingkan wajahnya. Siapa gerangan laki-laki tampan itu? Batin Lara menjerit ingin tahu. Itulah kali pertama Lara jatuh cinta. Kata temannya, love at the first sight. Lara jatuh tenggelam dalam pandangan teduh yang dimiliki cowok itu. Ia tampak tenang dan acuh, jika melihat Lara. Malu, kali ya? Pikir Lara saat itu. Dalam hati Lara bersyukur, ada juga yang mungkin hampir seumuran dengannya.
Nggak beberapa lama kemudian, seorang pria paruh baya memanggil laki-laki tampan itu. Eh, tau-tau mereka berdua berjalan ke arah Lara dan ibunya berdiri. Dan saat itulah, Lara mengetahui siapa pria tampan tersebut. Rupanya dia adalah Keenan Saputra Bagaskara, atau yang biasa disapa Keenan. “Ini Lara, Mel?” tanya pria paruh baya dengan rambut beruban itu. Ibu Lara mengangguk. “Iya, Bar. Ini anakku.” Mama tersenyum bangga pada Lara. “Lara, Om.” Lara mengikuti perintah mamanya, menjabat Om Bara.
“Nah, kalo yang ini, anak Om. Namanya Keenan, mahasiswa Felicitas University di Jakarta, jurusan kedokteran.” Om Bara menepuk bahu laki-laki tampan itu. “Keenan,” sapanya tanpa senyum. Herannya, Lara malah suka dengan gaya dingin dari cowok tampan itu. Cool banget sih nih cowok, jerit Lara dalam hati. Jika diperhatikan dari jarak dekat, Keenan terlihat lebih tampan. Guratan alis tebal dengan hidung mancung serta bibir tipisnya itu begitu mempesona relung hati Lara.
“Ingat nggak, Ra? Waktu kecil kamu pernah hilang di Villa Green Apple? Dulu yang nemuin kamu, ya anak Om, Keenan.” Om Bara menunjuk Keenan. Cowok itu hanya tersenyum sekedarnya. Ampun deh, bikin gereget banget ya si Keenan ini? Nggak nyangka, cowok yang dulunya berambut mangkok ini, malah menjelma jadi cowok setampan dan sekeren seperti sekarang. Punya pacar belum ya?
Batin Lara semakin ingin tahu. Jantung Lara semakin berdegup kencang, ketika Keenan yang irit bicara itu bertanya, “Kamu kelas berapa sekarang?” Yailah, baru ditanya gitu doang, Lara udah lemes duluan. Norak banget nggak sih?? “Ng… kelas 2 SMA, Kak,” sahut Lara malu-malu. Ya ampun, apa banget deh gue, batin Lara berkata. Biasa juga depan anak-anak dia berisik banget, eh ini di depan cowok ganteng begini dia mati gaya.
“Oh… Anak IPA?” tanyanya lagi. Eh buset, dia ini polisi kali ya? Interogasinya detail amat. Mana mukanya serius banget lagi kayak guru kimia gue di kelas, Lara menggumam seru (dalam hati) “Bukan, aku IPS, Kak.” Macem diospek aja nih gue jawabnya, sopan banget. Mana Lara yang asli? Manaaaa! Lara menjerit dalam hatinya lagi. Dua orang tua mereka saling tersenyum, menyadari kelucuan anak muda ini, “Aduh, Lara. Jangan malumalu gitu dong sama Keenan.
Panggilnya pake ‘Kak’ segala, lagi? Panggil nama aja.” Lara salah tingkah, “Hmm… Lara belum terbiasa, Om. Nggak manggil ‘Kakak’.” Om Bara tersenyum tulus, “Keenan santai aja kok orangnya, nggak akan marah cuma karena begituan. Iya kan, Nan?” Cowok itu hanya mengangguk. “Panggil nama aja, gue oke, kok.” Jadilah Lara memanggil pria tampan itu dengan namanya, K-E-EN- A-N, kepanjangan dari, ‘keren dan tampan’ cuma Lara aja yang nambahin sendiri dalam hati. Namanya juga lagi falling in love.
Selanjutnya, tebak apa yang terjadi? Keduanya hanya berdiri berdua, persis Patung Pancoran. Nggak ada sepatah kata pun terucap dari bibir mereka. “Kak, eh–Nan, lo nanti pengen ambil kedokteran apa?” “Pengennya sih kandungan.” Lara terperanjat, pasti nih cowok pinter banget deh.
(bersambung)
(ars)